Sabtu, 02 Januari 2010

http://warnadunia.com/multimedia-dalam-quantum-teaching-dan-quantum-learning/

MULTIMEDIA DALAM QUANTUM TEACHING DAN QUANTUM LEARNING

12 January 2009

Ketika kita membahas tentang efektivitas pembelajaran, maka quantum teaching dan quantum leraning adalah topik yang akan selalu hangat.

Dimulai pada musim panas, Juli 1982. Enampuluh empat anak muda berkumpul di perkemahan yang digelar di Kirkwood Ski Resort, di dekat Danau Tahoe, California. Mereka ada di sana bukan untuk sekadar bersenang-senang, melainkan untuk mengikuti program belajar efektif. Bobbi DePorter dan Eric Jensen sedang menjelaskan metode belajar baru yang diramu dari berbagai penemuan ilmiah kepada peserta perkemahan.

Ada tiga ketrampilan dasar yang mereka ajarkan dalam perkemahan yang kemudian dijuluki SuperCamp itu, yakni ketrampilan akademis, prestasi fisik, dan ketrampilan hidup. Hasilnya demikian impresif. Setelah mengikuti perkemahan selama sepuluh hari, motivasi belajar peserta meningkat, nilai belajar di sekolah semakin tinggi, mereka lebih percaya diri, harga diri meningkat, dan ketrampilan belajar pun berkembang.

Dari sukses itulah, kegiatan SuperCamp kemudian diadakan di berbagai tempat melalui Learning Forum, yang pada tahun ini tepat berusia 20 tahun. Learning Forum didirikan oleh DePorter bersama Jensen, namun kemudian Jensen keluar dan posisinya digantikan oleh Joe Chapon. Dalam waktu dua dekade ini SuperCamp telah meluluskan lebih dari 25 ribu peserta dalam kegiatan yang diadakan di 50 negara bagian AS dan 70 negara lain.

Programnya pun berkembang dengan peserta berusia 9-24 tahun dan menghabiskan 8-10 hari di perkemahan. Teknik-teknik yang dipelajari juga kian inovatif, seperti teknik membaca kuantum, teknik menulis cepat dan tepat, memecahkan masalah secara kreatif, strategi belajar di perguruan tinggi, teknik mengingat, teknik menguasai matematika, dan ketrampilan hidup. DePorter menamai temuannya ini Quantum Learning –meminjam istilah dalam fisika, kuantum, dan menunjukkan bahwa potensi yang dimiliki manusia itu ibarat kuantum yang dapat diubah menjadi energi yang dahsyat.

Pemaknaan Quantum learning ialah kiat, petunjuk, strategi, dan seluruh proses belajar yang dapat mempertajam pemahaman dan daya ingat, serta membuat belajar sebagai suatu proses yang menyenangkan dan bermanfaat. Beberapa teknik yang dikemukakan merupakan teknik meningkatkan kemampuan diri yang sudah populer dan umum digunakan.

Namun, Bobbi DePorter mengembangkan teknik-teknik yang sasaran akhirnya ditujukan untuk membantu para siswa menjadi responsif dan bergairah dalam menghadapi tantangan dan perubahan realitas (yang terkait dengan sifat jurnalisme). Quantum learning berakar dari upaya Georgi Lozanov, pendidik berkebangsaan Bulgaria. Ia melakukan eksperimen yang disebutnya suggestology (suggestopedia). Prinsipnya adalah bahwa sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil situasi belajar, dan setiap detil apa pun memberikan sugesti positif atau negatif. Untuk mendapatkan sugesti positif, beberapa teknik digunakan. Para murid di dalam kelas dibuat menjadi nyaman. Musik dipasang, partisipasi mereka didorong lebih jauh. Poster-poster besar, yang menonjolkan informasi, ditempel. Guru-guru yang terampil dalam seni pengajaran sugestif bermunculan.

Prinsip suggestology hampir mirip dengan proses accelerated learning, pemercepatan belajar: yakni, proses belajar yang memungkinkan siswa belajar dengan kecepatan yang mengesankan, dengan upaya yang normal, dan dibarengi kegembiraan. Suasana belajar yang efektif diciptakan melalui campuran antara lain unsur-unsur hiburan, permainan, cara berpikir positif, dan emosi yang sehat.

“Quantum learning mencakup aspek-aspek penting dalam program neurolinguistik (NLP), yaitu suatu penelitian tentang bagaimana otak mengatur informasi. Program ini meneliti hubungan antara bahasa dan perilaku dan dapat digunakan untuk menciptakan jalinan pengertian siswa dan guru. Para pendidik dengan pengetahuan NLP mengetahui bagaimana menggunakan bahasa yang positif untuk meningkatkan tindakan-tindakan posistif – faktor penting untuk merangsang fungsi otak yang paling efektif. Semua ini dapat pula menunjukkan dan menciptakan gaya belajar terbaik dari setiap orang (Bobby De Porter dan Hernacki, 1992)

Selanjutnya Porter dkk mendefinisikan quantum learning sebagai “interaksi-interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya.” Mereka mengamsalkan kekuatan energi sebagai bagian penting dari tiap interaksi manusia. Dengan mengutip rumus klasik E = mc2, mereka alihkan ihwal energi itu ke dalam analogi tubuh manusia yang “secara fisik adalah materi”. “Sebagai pelajar, tujuan kita adalah meraih sebanyak mungkin cahaya: interaksi, hubungan, inspirasi agar menghasilkan energi cahaya”. Pada kaitan inilah, quantum learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepatan belajar, dan NLP dengan teori, keyakinan, dan metode tertentu. Termasuk konsep-konsep kunci dari teori dan strategi belajar, seperti: teori otak kanan/kiri, teori otak triune (3 in 1), pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestik), teori kecerdasan ganda, pendidikan holistik, belajar berdasarkan pengalaman, belajar dengan simbol (metaphoric learning), simulasi/permainan.

Beberapa hal yang penting dicatat dalam quantum learning adalah sebagai berikut. Para siswa dikenali tentang “kekuatan pikiran” yang tak terbatas. Ditegaskan bahwa otak manusia mempunyai potensi yang sama dengan yang dimilliki oleh Albert Einstein. Selain itu, dipaparkan tentang bukti fisik dan ilmiah yang memerikan bagaimana proses otak itu bekerja. Melalui hasil penelitian Global Learning, dikenalkan bahwa proses belajar itu mirip bekerjanya otak seorang anak 6-7 tahun yang seperti spons menyerap berbagai fakta, sifat-sifat fisik, dan kerumitan bahasa yang kacau dengan “cara yang menyenangkan dan bebas stres”. Bagaimana faktor-faktor umpan balik dan rangsangan dari lingkungan telah menciptakan kondisi yang sempurna untuk belajar apa saja. Hal ini menegaskan bahwa kegagalan, dalam belajar, bukan merupakan rintangan. Keyakinan untuk terus berusaha merupakan alat pendamping dan pendorong bagi keberhasilan dalam proses belajar. Setiap keberhasilan perlu diakhiri dengan “kegembiraan dan tepukan.”

Berdasarkan penjelasan mengenai apa dan bagaimana unsur-unsur dan struktur otak manusia bekerja, dibuat model pembelajaran yang dapat mendorong peningkatan kecerdasan linguistik, matematika, visual/spasial, kinestetik/perasa, musikal, interpersonal, intarpersonal, dan intuisi. Bagaimana mengembangkan fungsi motor sensorik (melalui kontak langsung dengan lingkungan), sistem emosional-kognitif (melalui bermain, meniru, dan pembacaan cerita), dan kecerdasan yang lebih tinggi (melalui perawatan yang benar dan pengondisian emosional yang sehat). Bagaimana memanfaatkan cara berpikir dua belahan otak “kiri dan kanan”. Proses berpikir otak kiri (yang bersifat logis, sekuensial, linear dan rasional), misalnya, dikenakan dengan proses pembelajaran melalui tugas-tugas teratur yang bersifat ekspresi verbal, menulis, membaca, asosiasi auditorial, menempatkan detil dan fakta, fonetik, serta simbolisme. Proses berpikir otak kanan (yang bersifat acak, tidak teratur, intuitif, dan holistik), dikenakan dengan proses pembelajaran yang terkait dengan pengetahuan nonverbal (seperti perasaan dan emosi), kesadaran akan perasaan tertentu (merasakan kehadiran orang atau suatu benda), kesadaran spasial, pengenalan bentuk dan pola, musik, seni, kepekaan warna, kreatifitas dan visualisasi.

Semua itu, pada akhirnya, tertuju pada proses belajar yang menargetkan tumbuhnya “emosi positif, kekuatan otak, keberhasilan, dan kehormatan diri.” Keempat unsur ini bila digambarkan saling terkait. Dari kehormatan diri, misalnya, terdorong emosi positif yang mengembangkan kekuatan otak, dan menghasilkan keberhasilan, lalu (balik lagi) kepada penciptaan kehormatan diri.

Dari proses inilah, quantum learning menciptakan konsep motivasi, langkah-langkah menumbuhkan minat, dan belajar aktif. Membuat simulasi konsep belajar aktif dengan gambaran kegiatan seperti: “belajar apa saja dari setiap situasi, menggunakan apa yang Anda pelajari untuk keuntungan Anda, mengupayakan agar segalanya terlaksana, bersandar pada kehidupan.” Gambaran ini disandingkan dengan konsep belajar pasif yang terdiri dari: “tidak dapat melihat adanya potensi belajar, mengabaikan kesempatan untuk berkembang dari suatu pengalaman belajar, membiarkan segalanya terjadi, menarik diri dari kehidupan.”

Dalam kaitan itu pula, antara lain, quantum learning mengonsep tentang “menata pentas: lingkungan belajar yang tepat.” Penataan lingkungan ditujukan kepada upaya membangun dan mempertahankan sikap positif. Sikap positif merupakan aset penting untuk belajar. Peserta didik quantum dikondisikan ke dalam lingkungan belajar yang optimal baik secara fisik maupun mental. Dengan mengatur lingkungan belajar demikian rupa, para pelajar diharapkan mendapat langkah pertama yang efektif untuk mengatur pengalaman belajar.

Penataan lingkungan belajar ini dibagi dua yaitu: lingkungan mikro dan lingkungan makro. Lingkungan mikro ialah tempat peserta didik melakukan proses belajar (bekerja dan berkreasi). Quantum learning menekankan penataan cahaya, musik, dan desain ruang, karena semua itu dinilai mempengaruhi peserta didik dalam menerima, menyerap, dan mengolah informasi. Ini tampaknya yang menjadi kekuatan orisinalitas quantum learning. Akan tetapi, dalam kaitan pengajaran umumnya di ruang-ruang pendidikan di Indonesia, lebih baik memfokuskan perhatian kepada penataan lingkungan formal dan terstruktur seperti: meja, kursi, tempat khusus, dan tempat belajar yang teratur. Target penataannya ialah menciptakan suasana yang menimbulkan kenyamanan dan rasa santai. Keadaan santai mendorong siswa untuk dapat berkonsentrasi dengan sangat baik dan mampu belajar dengan sangat mudah. Keadaan tegang menghambat aliran darah dan proses otak bekerja serta akhirnya konsentrasi siswa.

Lingkungan makro ialah “dunia yang luas.” Peserta didik diminta untuk menciptakan ruang belajar di masyarakat. Mereka diminta untuk memperluas lingkup pengaruh dan kekuatan pribadi, berinteraksi sosial ke lingkungan masyarakat yang diminatinya. “Semakin siswa berinteraksi dengan lingkungan, semakin mahir mengatasi sistuasi-situasi yang menantang dan semakin mudah Anda mempelajari informasi baru,” tulis Porter. Setiap siswa diminta berhubungan secara aktif dan mendapat rangsangan baru dalam lingkungan masyarakat, agar mereka mendapat pengalaman membangun gudang penyimpanan pengertahuan pribadi. Selain itu, berinteraksi dengan masyarakat juga berarti mengambil peluang-peluang yang akan datang, dan menciptakan peluang jika tidak ada, dengan catatan terlibat aktif di dalam tiap proses interaksi tersebut (untuk belajar lebih banyak mengenai sesuatu). Pada akhirnya, interaksi ini diperlukan untuk mengenalkan siswa kepada kesiapan diri dalam melakukan perubahan. Mereka tidak boleh terbenam dengan situasi status quo yang diciptakan di dalam lingkungan mikro. Mereka diminta untuk melebarkan lingkungan belajar ke arah sesuatu yang baru. Pengalaman mendapatkan sesuatu yang baru akan memperluas “zona aman, nyaman dan merasa dihargai” dari siswa.

Keterkaitan dengan media pembelajaran
Teknologi baru terutama multimedia mempunyai peranan semakin penting dalarn pembelajaran. Banyak orang percaya bahwa multimedia akan dapat membawa kita kepada situasi belajar dimana learning with effort akan dapat digantikan dengan learning with fun. Apalagi dalam pembelajaran orang dewasa, learning with effort menjadi hal yang cukup menyulitkan untuk dilaksanakan karena berbagai faktor pembatas, seperti kemauan berusaha, mudah bosan dll. Jadi proses pembelajaran yang menyenangkan, kreatif, tidak membosankan menjadi pilihan para guru/fasilitator. Jika situasi belajar seperti ini tidak tercipta, paling tidak multimedia dapat membuat belajar lebih efektif menurut pendapat beberapa pengajar.

Pada saat ini kita semua memahami bahwa proses belajar dipandang sebagai proses yang aktif dan partisipatif, konstruktif, kumulatif, dan berorientasi pada tujuan pembelajaran, baik Tujuan Pembelajaran Umum (TPU) maupun Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) untuk mencapai kompetensi tertentu.

SMK yang sudah mapan pada umumnya menggunakan teknologi multimedia di dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Pada beberapa tahun lalu yang masih menggunakan Overhead Projector (OHP) dan menggunakan media Overhead Transparancy (OHT), pada saat ini menjadi tidak mode dan mulai ditinggalkan. Beberapa kelebihan multimedia seperti tidak perlu pencetakan hard copy dan dapat dibuat/diedit pada saat mengajar menjadi hal yang memudahkan guru dalam penyampaian materinya. Berbagai variasi tampilan/visual bahkan audio mulai dicoba seperti animasi bergerak, potongan video, rekaman audio, paduan warna dll dibuat untuk mendapatkan sarana bantu mengajar yang sebaik-baiknya. Bahkan pada beberapa kesempatan telah diadakan ToT Multimedia dan juga In House Training

Pembelajaran yang Efektif

Sejauh ini multimedia mampu mengubah pembelajaran secara drastis dan fundamental. Namun pertanyaannya adalah, kapan multimedia efektif digunakan dalam proses pembelajaran peserta diktat ? dan mengapa efektif ?

Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas, kita harus merniliki pemahaman yang menyeluruh tentang multimedia. Ketika membahas multimedia, biasanya yang kita maksudkan adalah gabungan alat-alat teknik seperti komputer, memori elektronik, jaringan informasi, dan alat-alat display yang dapat menyajikan informasi melalui berbagai format seperti teks, gambar nyata atau grafik dan melalui multi saluran sensorik. Hal ini analog dengan pernikiran jika kita menganggap komputer sebagai mesin tik misalnya. Padahal komputer jelas-jelas merniliki berbagai fungsi dan manfaat yang lebih banyak dibanding mesin tik manual.

Beberapa kesalahan konsep mengenai multimedia dapat diringkas sebagai berikut :

1.Sebagian besar pengguna teknologi multi media masih menganggap multi media hanya sebagai alat penampil suatu materi yang akan disampaikan

2.Multimedia dipandang sebagai wahana yang selalu memberikan dampak positif pada pembelajaran.

3.Karena multimedia memanfaatkan banyak ragam media (audio, visual, animasi gerak, dll) maka serta merta akan menghasilkan proses kognitif yang banyak pula. Dengan bahasa sederhana dikatakan bahwa dengan memberikan banyak hal (teks, gambar, animasi, dll.) maka peserta didik akan mendapatkan lebih banyak.

Kembali pada topik terkemuka, sebelum kita mencari jawaban atas pertanyaan di atas hendaknya kita memaharni level-level pada multimedia. Secara keseluruhan, multimedia terdiri dari tiga level (Mayer, 2001) yaitu :

1.Level teknis, yaitu multimedia berkaitan dengan alat-alat teknis ; alat-alat ini dapat diartikan sebagai wahana yang meliputi tanda-tanda (signs).

2.Level semiotik, yaitu representasi hasil multimedia seperti teks, gambar, grafik, tabel, dll.

3.Level sensorik, yaitu yang berkaitan dengan saluran sensorik yang berfungsi untuk menerima tanda (signs).

Dengan memanfaatkan ketiga level di atas diharapkan kita dapat mengoptimalkan multimedia dan mendapatkan efektifitas pemanfaatan multimedia pada proses pembelajaran.

Berikut ini dipaparkan hasil-hasil penelitian berkaitan dengan pemanfaatan multimedia. Pengaruh multimedia dalam pembelajaran menurut YG Harto Pramono antara lain :

a.Multi bentuk representasi

b.Animasi

c.Multi saluran sensorik

d.Pembelajaran non-linearitas

e.Interaktivitas.

1.Multi Bentuk Representasi

Yang dimaksud dengan multi bentuk representasi adalah perpaduan antara teks, gambar nyata, atau grafik. Berdasarkan hasil penelitian tentang pemanfaatan multi bentuk representasi, informasi/materi pengajaran melalui teks dapat diingat dengan baik jika disertai dengan gambar. Hal ini dijelaskan dengan dual coding theory (Paivio, 1986). Menurut teori ini, sistem kognitif manusia terdiri dua sub sistem : sistem verbal dan sistem gambar (visual). Kata dan kalimat biasanya hanya diproses dalam sistem verbal (kecuali untuk materi yang bersifat kongkrit), sedangkan gambar diproses melalui sistem gambar maupun sistem verbal. Jadi dengan adanya gambar dalam teks dapat meningkatkan memori oleh karena adanya dual coding dalam memori (bandingkan dengan single coding).

Seseorang yang membaca/memahami teks yang disertai gambar, aktifitas yang dilakukannya yaitu : memilih informasi yang relevan dari teks, membentuk representasi proporsi berdasarkan teks tersebut, dan kemudian mengorganisasi informasi verbal yang diperoleh ke dalam mental model verbal.

Demikian juga ia memilih informasi yang relevan dari gambar, lalu membentuk image, dan mengorganisasi informasi visual yang dipilih ke dalam mental mode visual. Tahap terakhir adalah menghubungkan ‘model’ yang dibentuk dari teks dengan model yang dibentuk dari gambar .Model ini kemudian dapat menjelaskan mengapa gambar dalam teks dapat menunjang memori dan pemahaman peserta didik.

Fitur penting lain dalam multimedia adalah animasi. Berbagai fungsi animasi antara lain : untuk mengarahkan perhatian peserta diklat pada aspek penting dari materi yang sedang dipelajari (tetapi awas, animasi dapat juga mengalihkan perhatian peserta dari topik utama), Menurut Schnotz dan Bannert (2003), pemahaman melalui teks dan gambar dapat mendukung pembentukan mental model melalui berbagai route (yang juga ditunjang oleh latar belakang pengetahuan sebelurnnya atau prior knowledge).

Menurut model ini, gambar dapat menggantikan teks dan demikian pula sebaliknya. Model ini dapat juga menjelaskan perbedaan tiap-tiap individu dalam belajar menggunakan multimedia Beberapa hasil penelitian menunjukkan peserta diklat yang memiliki latar belakang pengetahuan sebelurnnya (prior knowledge) tinggi tidak memperoleh banyak keuntungan dengan adanya gambar pada teks, sedangkan peserta diklat dengan prior knowledge rendang sangat terbantu dengan adanya gambar pada teks.

Berarti bagi guru/fasilitator cukup jelas kapan menggunakan gambar pada teks dan kapan tidak menggunakannya. Tetapi perlu diingat juga bahwa pada dasarnya gambar sebagai penunjang penjelasan substansi materi yang tertera pada teks, jadi jangan sekali-sekali porsi gambar melebihi teks yang ada. Juga gambar harus relevan dan berkaitan dengan narasi pada teks.

2.Animasi

Menurut Reiber (1994) bagian penting lain pada multimedia adalah animasi. Animasi dapat digunakan untuk menarik perhatian peserta diklat jika digunakan secara tepat, tetapi sebaliknya anirnasi juga dapat mengalihkan perhatian dari substansi materi yang disampaikan ke hiasan animatif yang justru tidak penting. Animasi dapat membantu proses pelajaran jika peserta diklat banya akan dapat melakukan proses kognitif jika dibantu dengan animasi, sedangkan tanpa animasi proses kognitif tidak dapat dilakukan. Berdasarkan penelitian, peserta diklat yang memiliki latar belakang pendidikan dan pengetahuan rendah cenderung memerlukan bantuan, salah satunya animasi, untuk menangkap konsep materi yang disampaikan.

3.Multi Saluran Sensorik

Dengan penggunaan multimedia, peserta diklat sangat dimungkinkan mendapatkan berbagai variasi pemaparan materi. Atau sebaliknya guru/fasilitator dapat menggunakan berbagai saluran sensorik yang tersedia pada media tersebut. Dengan penggunaan multi saluran sensorik, dimungkinkan penggunaan bentuk-bentuk auditif dan visual. Menurut basil penelitian, pemerolehan pengetahuan melalui teks yang menggunakan gambar disertai animasi, basil belajar peserta akan lebih baik jika teks disajikan dalam bentuk auditif dari pada visual.

4.Pembelajaran Non Linear

Pembelajaran non linear dirnaksudkan sebagai proses pembelajaran yang tidak hanya mengandalkan materi-materi dari guru/widyaiswara, tetapi peserta diklat hendaknya menambah pengetahuan dan ketrampilan dari berbagai somber ekstemal seperti narasumber di lapangan, studi literatur dari beberapa perpustakaan, situs internet, dan sumber-sumber lain yang relevan dan menunjang peningkatan diri. Berdasarkan suatu penelitian dikatakan bahwa tingkat pemahaman dengan sistem pembelajaran non linear merniliki hasil yang lebih baik dibanding peserta diktat mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan hanya dari fasilitator. Jadi tugas guru/fasilitator untuk dapat merangsang dan menciptakan suatu kondisi semangat menambah ilmu para peserta diklat dari berbagai sumber lain.

5.Interaktivitas

Interaktivitas disini diterjermahkan sebagai tingkat interaksi dengan media pembelajaran yang digunakan, yakni multimedia. Karena kelebihan yang dimiliki multimedia, memungkinkan bagi siapapun (guru/fasilitator dan peserta diklat) untuk eksplore dengan memanfaatkan detail-detail di dalam multimedia dalam menunjang kegiatan pembelajaran. Permasalahannya tinggal bagaimana aktivitas behavioristik terhadap multimedia memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak (guru & peserta).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar